Pada acara ritual puncak pesta adat tahunan Takimpo Lipuogena, Parabela selaku Ketua Adat memimpin acara yang diawali dengan pelepasan rombongan Ande-ande, Gilisoria, Lakadandio serta rombongan Kalambe yang akan berjalan mengelilingi kampung.
Ande-ande mengambarkan kelompok anak yang baru belajar merangkak dan masih berada dalam dekapan sang ibu. Hal tersebut disimbolkan dengan gerakan tangan sejajar dada dengan suara laksana bayi. Kelompok kedua yang disebut Gilisoria menggambarkan anak yang sudah dapat berjalan dan disimbolkan dengan gerakan tangan ke atas. Selanjutnya, kelompok ketiga yang disebut Lakadandio menggambarkan kelompok anak lelaki yang telah beranjak dewasa. Yang terakhir yaitu kelompok Kalambe, menggambarkan kelompok wanita yang telah dewasa
Empat rombongan yang dilepas oleh parabela mempunyai makna, kelak nantinya anak akan meninggalkan rumah. Prosesi pelepasan diiring dengan nasehat yang disebut Lakedo. setelah rombongan yang dilepas pergi mengelilingi kampung, mereka kembali ke Baruga. Kemudian Parabela dan pendampingnya yang disebut Waci menerima kembali keempat kelompok dan diberi nasehat kembali yang disebut "Lakedo".
Prosesi selanjutnya yaitu, Lawapulu yang berati dialog antara parabela dengan parabela pemuda, yang dimulai dengan mengucapkan salam penghormatan dengan tokoh adat dan tokoh agama. dua rangkaian ritual adat berturut-turut yang dilakukan yaitu lantun syair Ndo-ndo yang dilagukan oleh syara adat dan syara hukumu. Kemudian ritual Pidao'a yang dianalogikan proses jual beli. Prosesi ini dilakukan dengan tukar menukar barang (barter). Pelaksanaan prosesi ini dilaksanakan oleh kelompok kalambe. Ritual adat yang terakhir dilakukan yaitu Posanga'a yang artinya pamitan parabela Ana moane. Seluruh rangkaian pesta adat tersebut diadakan untuk menghimpun doa kepada maha kuasa agar saat musim tanam mendapat berkah dan hasil yang baik.
SELAMAT DATANG DI GREAT BUTON WEBLOG
Samparona yang terletak di Desa Kaesabu Kecamatan Sorawolio, Kota Baubau telah menjadi tempat pelaksanaan Perkemahan Putri Nasional (Perkempinas) I dan telah masuk ke dalam kategori standar Nasional yang dapat menampung 1500 peserta pramuka.
Lokasi ini sebelumnya merupakan areal hutan pinus. Dengan dijadikannya tempat ini sebagai kawasan perkemahan, selain dapat digunakan sebagai tempat rekreasi juga dapat dimanfaatkan sebagai arena outbond training.
HONARI MOSEGA adalah tarian perang asli asal Liya, Kabupaten Wakatobi yang dahulu kala dijadikan sebagai tarian pengintai musuh yang diperkirakan mulai terjadi sejak pertengahan abad XI di pulau Oroho. Tarian ini dahulu kala dikembangkan oleh para Hulubalang dan Bajak Laut yang bermukim di pulau tersebut dalam rangka mempertahankan wilayah kekuasaan mereka dari para musuh yang akan memasuki daratan. Dan pengintaian ini akan nampak pada pasukan pengawal sejumlah 40 orang yang seluruhnya membawa tombak dengan hulu tajam, yang mana dikomandoi oleh seorang pembawa bendera berwarna kuning dengan memakai topi yang berhiaskan cermin. Antara isyarat yang diberikan oleh gerakan HORANI MOSEGA dengan prajurit pengawal 40 orang ini merupakan suatu kesatuan komando yang dinampakkan pada saat penghormatan para panari tersebut.Dalam lingkungan keraton Liya penari HONARI MOSEGA ini pertama-tama menghadap ke Mesjid Agung Keraton Liya dan memberi hormat, kemudian setelah itu mulai teriak dan menari samnil membuka penghormatan arah Makam Leluhur sebelah utara dan melanjutkan gerakan tarian arah selatan dan diujung memberi hormat para penduduk dan kemudian melanjutkan kerakan menuju makam leluhur kembali sambil memberi hormat terakhir dilanjutkan bergerak menuju arah Baruga (tempat pertemuan Raja) dan menyerahkan katompide ditamsilkan barat mayat seorang yang sudah ditombak.
Katompide ditaruh ditanah sambil di beri perhatian 3 kali apakah mayat ini masih bergoyang atau tidak dan terus diawasi dengan bergerak mundur memutar melingkar dan maju kembali untk menonbak sambil mengambil tangkisan tersebut dan meloncat teriak dan berpaling dan menuju ke arah mesjid menombak sambil memutar dan terakhir memberi hormat.
Dalam tarian aslinya simbol-simbol gerakan diciptakan dengan tujuan dan maksud-maksud tertentu dan ketika itu hanya para perajurit pengawal 40 orang dan para hulubalang dan bajak laut yang mengetahui isyarat-isyarat itu untuk pemberian sebuah komando apakah menyerang atau menyambut lawan dengan baik.
Tarian ini menampilkan sejumlah simbol perilaku sosial masyarakat tradisional di Kabaena, salah satu pulau besar setelah Buton dan Muna di Provinsi Sulawesi Tenggara. Klimaks dari tarian ini adalah sebagian penari menghunus parang tajam, lalu batang-batang pisang pun rebah ke tanah!
Seperti kebanyakan seni tari tradisional yang masih orisinal, tarian lumense kurang mengeksplorasi tubuh melalui gerakan-gerakan yang dapat lebih mengekspresikan simbol-simbol keseharian masyarakat pendukung kesenian tersebut.
Gerak para penari hanya mengandalkan gerakan dasar dengan dukungan irama musik dari tetabuhan gendang dan bunyi gong besar (tawa-tawa) dan gong kecil (ndengu-ndengu). Namun, secara artistik, gerak tari lumense tetap memenuhi kriteria tontonan.
Terdapat tiga penabuh gendang, tawa-tawa, dan ndengu-ndengu yang bertugas membunyikan instrumennya, sebaris penari, dan anakan pohon pisang dalam jarak tertentu. Jumlah pohon disesuaikan dengan jumlah pemain ”putra”.
Kelompok penari lumense biasanya berjumlah 12 wanita muda: enam berperan sebagai pemain putra, dan sisanya sebagai putri. Semua pemain menggunakan busana adat Kabaena dengan rok berwarna merah maron. Baju atasnya hitam. Baju ini disebut taincombo, yang bagian bawah mirip ikan duyung.
Khusus para penari lumense, taincombo dipadu dengan selendang merah. Kelompok putra ditandai adanya korobi (sarung parang dari kayu) yang disandang di pinggang sebelah kiri. Parang atau ta-owu yang disarungkan di korobi dibuat khusus oleh pandai besi lokal dan selalu diasah agar matanya tetap tajam.
Tarian ini diawali gerakan-gerakan maju mundur, bertukar tempat, kemudian saling mencari pasangan. Gerakan mengalir terus hingga membuat konfigurasi leter Z, lalu diubah lagi menjadi leter S. Pada tahap ini ditampilkan gerakan lebih dinamis yang disebut momaani (ibing).
Pada saat itu tarian ini akan terasa amat menegangkan. Pasalnya, parang telah dicabut dari sarungnya dan diarahkan ke kepala penari putri sambil masih terus momaani. Dalam sekejap parang itu kemudian ditetakkan (ditebaskan) ke batang pisang. Dalam sekali ayun semua pohon pisang rebah bersamaan.
Tarian lumense ditutup dengan sebuah konfigurasi berbentuk setengah lingkaran. Pada episode ini para penari membuat gerakan tari lulo, dengan jari yang saling mengait sedemikian rupa sehingga telapak tangan masing-masing saling bertaut, lalu secara bersama digerakkan turun-naik untuk mengimbangi ayunan kaki yang mundur-maju.
Sekadar diketahui, tari lulo adalah tari pergaulan masyarakat Sultra di zaman modern ini. Tari yang dimainkan secara massal itu adalah tari tradisional masyarakat Tolaki di daratan jazirah Sultra, juga masyarakat Kabaena dengan perbedaan pola atau versi gerakan yang tipis.
Sebagian besar penduduk Pulau Kabaena sampai saat ini adalah petani tradisional. Membuka hutan untuk berladang atau berkebun adalah pola pertanian yang masih berlaku, terutama di pedalaman. Korobi atau sarung parang yang disandang penari ”putra” merupakan pengungkapan dari aktivitas keseharian masyarakat agraris yang masih tradisional itu.
Ada pula pihak-pihak yang menyebut tarian lumense tidak ramah lingkungan, itu hanya karena menampilkan adegan menebas pohon pisang. Namun, bagi masyarakat Kabaena, pohon pisang tidak bisa diganti dengan properti lain. Pasalnya, pohon pisang dipersonifikasikan sebagai bencana yang harus dicegah.
Bencana bisa dalam bentuk banjir, tanah longsor, wabah penyakit, dan kerusuhan sosial. Maka, ketika pohon pisang telah rebah, artinya bencana telah dapat dicegah, dan warga pun akan hidup dalam suasana yang aman dan tenteram.
Kekompakan dan rasa kekerabatan juga menjadi komitmen dalam kehidupan sosial masyarakat tradisional Kabaena. Hal itu disimbolkan dengan konfigurasi tarian massal lulo tadi.
Pada zaman dahulu (tarian) lumense ditampilkan dalam suatu acara ritual yang disebut pe-olia, yaitu penyembahan dalam bentuk penyajian aneka jenis makanan kepada roh halus agar roh halus yang disebut kowonuano (penguasa/pemilik negeri) berkenan mengusir segala macam bencana bagi ketenteraman hidup manusia. Penutup atau klimaks dari upacara sesajen tersebut adalah penebasan pohon pisang.
Tarian ini juga sering ditampilkan pada masa Kesultanan Buton. Kabaena dan Buton memiliki hubungan yang kuat dan tidak dapat dipisahkan karena Kabaena merupakan salah satu wilayah kesultanan Buton.