SELAMAT DATANG DI GREAT BUTON WEBLOG

Weblog ini akan memperkenalkan kepada anda tentang keeksotikan daerah-daerah di Buton dari sisi kebudayaan, tradisi, kesenian, dan alam. Buton yang dimaksud ialah Buton secara umum yang meliputi Kota Baubau, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Buton, dan Kabupaten Buton Utara di Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia.
| 1 komentar ]

Di Kabupaten Buton, yang merupakan wilayah Kesultanan Buton dahulu, terdapat banyak situs sejarah dan hingga kini masih terjaga dengan baik, sebut saja Puncak Siontapina, yang merupakan Benteng Pertahanan sekaligus Markas Rahasia sang Pejuang Patriotis, penentang kedzaliman imrealisme Belanda saat itu, yang bernama Laode Himmayatuddin Muhammad Saidi Ibnu Sulthaani Liyaluddin Ismail  (Oputa Yikoo) atau La Karambau, merupakan satu-satunya Tokoh yang naik Tahta dan memerintah sebanyak dua periode, yakni Sultan Buton ke 21 dan 23. 

Selain gigih dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda, Himayatuddin juga menekankan pentingnya kelestarian hutan yang menunjang aktivitas kehidupan masyarakat pengikutnya saat itu, sehingga disekitaran Puncak Siontapina ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Adat yang disebut Kaombo dengan tujuan agar hutan yang berada disekitar Puncak Siontapina tetap terpeliharan dan terjaga keasliannya. Sanksi adat menanti untuk mereka yang m elanggar, yakni berupa denda atau menanam kembali pohon yang ditebang dengan beberapa pohon yang lain, bahkan ada sanksi berat untuk mereka yang tertangkap tangan melakukan pengrusakan hutan yaitu diasingkan kedaerah lain. Wasiat inilah yang masih terus dijalankan oleh para pengikutnya yang tersebar di Wasuamba, Labuandiri, Kamaru dan Lawele.

Masyarakat adat Wasuamba sebagai kaanana ompo Sultan Himayatuddin masih memeliharan dan menjalankan wasiat ini, maka setiap tahunnya setelah Idul Fitri usai, Syara Matanaeyo – Sukanaeyo, Labuandiri Wasuamba akanberkumpul untuk bermusyawarah membicarakan prosesi adat tahunan yang disebut dengan Tutura yang akan diselenggarakan dipuncak bukit Siontapina. Tutura ini akan berlangsung selama beberapa hari itulah sebabnya masyarakat adat (Tontau, Pau, dan Syara) beserta rombongan yang akan menuju puncak siontapina akan mempersiapkan perbekalan selama disana. Proses ini mereka janlankan penuh dengan semangat gotong royong sehingga perjalan menuju puncak siontapina yang berjarak kurang lebih 50 Km memasuki hutan belantara menjadi ringan dan ramai.

Untuk menuju puncak Siontapina kita berjalan melalui jalur Labuandiri (kurang lebih 40 Km) atau melalui jalur favorit yakni desa Wasuamba yaang memiliki jarak tempuh lebih pendek, diperjalanan  kita akan disuguhkan pemandangan alam yang asri dan menakjubkan, aliran sungai yang bersih dan hamparan ladang tradisional yang menghijau, mendaki beberapa bukit, menyeberangi sungai. Disepanjang jalan kita akan melihat aneka flora dan fauna, dibeberapa tempat aneka satwa ini mulai terusik kehidupannya disebabkan kehadiran beberapa perusahaan pertambangan yang mulai memporak-porandakan hutan disekitar Puncak Siotantapina. Diperjalan, kita juga dapat menangkap udang untuk makan siang sambil beristrahat diantara pohon yang rindang, perjalanan ini dapat kita tempuh dalam waktu satu hari.

Memasuki Puncak siontapina kita harus memakai sarung dan songkok, tidak diperknankan memakai celana panjang dan alas kaki. Suasananya terasa seperti zaman dahulu. Di Puncak Siontapina, kita akan terpesona dengan pemandangan alam yang menakjubkan, selain itu adanya benteng alam berbentuk segita 3 semakin membuat kita takjub akan sistem pertahanan Himayatuddin saat itu, Benteng di sisi Timur bernama Wantalao dengan kedalama tebing  sekitar 1 km (tegak lurus 180o), di tempat ini kita melihat langsung laut banda yang merupakan jalur pelayaran nasional dan internasional, Kepulauan Wakatobi, Pasarwajo, Teluk Kamaru. 

Sedangkan sisi Utara terdapat benteng Alam yang bernama Lakodo, ditempat ini kita akan melihat teluk Lawele, Hamparan hutan Lambelu, sungai Kalata yang bermuara di Wakantolalo Perbatasan Kec. Wolowa dengan Kec. Siontapina. Disisi Barat terdapat benteng alam yang disebut Wamoinondo, ditempat inilah kita akan melihat langsung ke arah Sora wolio dan sekitarnya. Selainitu, di puncak siontapina kita akan menyaksikan beberapa situs, seperti Lawana Wasuamba, Uwe Pangalasa, Quba Oputa Yikoo, Batu Banawa, Permandian Waode Kulisusu serta beberapa meriam dan situs lainnya. 

elain pemandangan alamnya yang menakjubkan, kita juga akan disuguhi beberapa atraksi dan prosesi adat yang disebut Tutura, dimulai dengan Prosesi Samburea yang berarti membersihkan, secara kasat mata kita akan menyaksikan prosesi pembersihan beberapa situs seperti pekangkiloana Batubanawa, Pembersihan Permandaian Waode Kulisisusu, pembersihan  Quba Oputa Yikoo, pembersihan dan ziarah ke beberapa makam yang terdapat di puncak Siontapina. Pada hari Samburea, semua orang diwajibkan memakain pakaian berwarna hijau, ibarat telur ayam, Samburea adalah cangkak luarnya. Hakekatnya Wallahu allamu.

Di hari kedua, Prosesi adat disebut dengan Sangka (Penyempurna) yang diawali dengan ritual mendirikan tiang sangka oleh 16 orang anggota syara Matanaeo Sukanaeo, dalam prosesi ini kita juga akan menyaksikan persembahan tarian Moose di atas batu banawa yang dimainkan oleh remaja perempuan yang belum gadis (belum haid), dilanjutkan denganTarian Linda, Mangaru, Pomunsei dan Manca serta prosesi pemberian makan kepada anak yatim piatu. Pada hari ini semua orang akan berpakain serba putih, seumpama telur ini adalah lapisan kedua, putih telur itu sendiri, hakekatnya Wallahu alamu. 

Hari ketiga dari Prosesi adat merupakan puncak dari segala kegiatan Tutura di puncak siontapina, inilah yang disebut matano atau prosesi  Pemutaran Payung. Payung keselamatan Negeri Butuuni,  dihari ini masyarakat adat akan berkumpul disatu tempat yang disebut lembono wite, duduk bersama mendengarkan nasehat dari Kapitalau Lawele dan dilanjutkan dengan berjabat tangan dengan beberapa Leluhur Buton yang hadir dengan jalan “Pobangka” pada Jasad yang telah dipersiapkan oleh Syara Matanaeo Sukanaeo. Di hari ini kita akan menyaksikan beberapa kejadian diluar akal sehat kita namun itulah yang menjadikan Siontapina menjadi berbeda dengan sangia lain di Buton.

Orang-orang yang berpakaian serba kuning, ditamsilkan ibarat telur ayam, hari ini merupakan inti terdalam, pusat dari seluruh kegiatan Tutura di puncak siontapina, hakekatnya Wallahu alamu. Sore harinya kita akan menyaksikan pembuatan nasi bambu secara masal, sebagai wujud kesyukuran atas hasil panen yang melimpah dan dilanjutkan dengan haroa dimalam harinya. Dipuncak siontapina, setiap malamnya kita akan menyaksikan pergelaran seni budaya yang berlansung semalam suntuk, ramai oleh hiruk pikuk orang-orang baik muda maupun tua, pria dan wanita, mereka tampil berpasang-pasangan untuk menari dan bernyanti tradisional yang disebut Kabhanti, disiang hari kita akan diajak berpetualang dirimba sekitar siontapina, memasang perangkap ayam hutan (manu koo) dan memasang bubu untuk mendapatkan udang serta mencari sayur mayur dari rebung rotan dan jamur hutan.

Semuanya serba alami dan penuh petualangan. Sayangnya, Potensi pariwisata di puncak Siontapina hinga saat ini belum dilirik oleh Pemerintah Kabupaten Buton, hal ini diperkuat dengan tidak adanya satupun fasilitas yang disiapkan oleh Pemerintah seperti papan Informasi ataupun Katalog Seni dan Budaya yang ada di Kabupaten Buton.

1 komentar

my-self mengatakan... @ 4 Maret 2015 pukul 06.36

apa kah nama lain dari oputa yiko

Posting Komentar