SELAMAT DATANG DI GREAT BUTON WEBLOG
Sumber: www.osiymobaubau.com
Sumber: www.osiymobaubau.com
Terletak di dalam benteng Keraton, sekitar 3 kilometer dari pusat Kota Baubau. Di tempat ini anda bisa melihat kediaman resmi sultan yang disebut Malige, yang dibangun tanpa sama sekali menggunakan paku. Anda bisa pula mencicipi aneka makanan khas Baubau seperti Kaholeo rore, Kasoami, Kaumbai, onde-onde, baruasa, waje, kalo-kalo, kapusu nosu, nasu Wolio, parende dan tuli-tuli. Hal lain yang patut anda lihat di lokasi ini adalah aneka kerajinan tangan khas Baubau, seperti sarung Buton, Panamba dan kerajinan kuningan.
Sumber: www.osiymobaubau.com
Lokasi ini merupakan pusat budidaya kerang mutiara yang produk utamanya adalah dua jenis mutiara standar internasional, yaitu Pinctada Maxima (mutiara bulat utuh) dan Pteria Penguin (mutiara setengah bulat). Anda bisa melihat langsung proses budidaya mutiara di lokasi ini. Berjarak 20 kilometer dari kota Baubau.
Sumber: www.osiymobaubau.com
sumber: www.osiymobaubau.com
Terletak sekitar 18 kilometer dari pusat kota Baubau di Kecamatan Bungi. Spot ini sangat menarik untuk aktifitas snorkeling dan terutama pecinta selam. Anda ditantang untuk menikmati aneka terumbu karang dengan berbagai spesies ikan.
sumber: www.osiymobaubau.com
Di masa pemerintahan Sultan Syakiyuddin Darul Alam atau yang juga dikenal dengan nama sultan Laelangi, banyak melakukan pembangunan salah satunya adalah pada Benteng Keraton terdapat Baruga. Baruga pada zaman dahulu pemerintahan Sultan Syakiyuddin Darul Alam berfungsi sebagai tempat bekumpul para sultan untuk melakukan upacara ataupun untuk membahas maslah-masalah Ekonomi, Politik dan lain-lain.
sumber artikel: http://sammunawir.blogspot.com
Dahulu ada sembilan orang Wali yang di kirim oleh Rasul untuk menyebarkan Islam. Salah satunya adalah Syekh Abdul Wahid dengan salah satu muridnya bernama "Mujina" beliau yang menyebarkan Islam yaitu di Burangasi sebagai wilayah pertama masuknya Islam di pulau Buton.
Pada masa pemerintahan Sultan ke-29, Mujina menjadi salah satu penyebar Islam yang diperintahkan oleh sultan dan beliau juga pernah mengikuti perang melawan Tobelo. Mujina adalah seorang perempuan dengan ciri-ciri fisik putih berikat sanggul di kepala dan silsilahnya berhubungan dengan sultan ke-29. Beliau juga suka memakai jubah berwarna biru dengan kain selempang, memakai pedang dan berkuda.
Turunannya dari sultan 17-29, warna kesukaanya warna kuning emas campur merah dan itulah yang merupakan simbol dari tempat duduknya berbentuk tiga lekungan. Hanya saja di saat Istana/Keraton mengalami perpindahan dari keraton lama ke keraton baru yaitu dimasa kekuasaan Sultan Murhum, semua benda milikinya hilang begitu saja bersama dengan keraton lama.
Makam Mujina kalau ini bertempat di kelurahan Melai, Kota Baubau dan berada di dalam area perumahan masyarakat Melai. Di dalam area tersebut terdapat banyak makam dan salah satunya adalah makam Mujina Kalau, yang dibatasi dengan pagar beton dengan lambang berciri khas Rumah Baruga tepat diatas pintu masuk area pemakaman beliau.
sumber: http://sammunawir.blogspot.com
La Ibi atau Pouta Masabuna Yi Walalengke atau Sultan Nasiruddin memerintah pada tahun 1709 – 1711 Masehi. Di riwayatkan Sultan Nasiruddin sebenarnya berat menerima jabatan sebagai Sultan. Beliau terpaksa menerima jabatan itu demi kehormatan kaumnya yaitu aliran bangsawan Tanai Londu. Makamnya dapat dijumpai di Kompleks Keraton Buton.
Sumber: http://sammunawir.blogspot.com
Asal mulanya Bendera Kerajaan Buton (Longa-longa), dan Longa-longa sebutan akrab penduduk setempat Keraton. Longa-longa sudah di kibarakan sejak Raja Pertama Buton yaitu Raja Wakaaka (Seorang wanita dari Tiongkok yang diangkat menjadi raja).
Panjang Longa-longa kurang lebih 5 M dan lebarnya 1 M. Konon ceritanya, Longa-longa di kibarkan pada saat jatuhnya tahta atau upacara adat yang akan di laksanakan .
Longa-longa di buat sebelum Islam (Agama yang kita anut sekarang ini) masuk di dalam kerajaan Buton (yangkemudian ditandai dengan terbentuknya Kesultanan Buton).
Sampai saat ini, belum ada yang tahu siapa yang membuat Bendera Longa-longa tersebut (Bendera Kerajaan Buton).
Sumber: http://sammunawir.blogspot.com
Sultan Murhum adalah raja terakhir Kerajaan Buton sekaligus sultan pertama dalam Kesultanan Buton. Makam Sultan Murhum, Sultan Buton I terdapat di dalam Benteng Keraton Buton di Kota Baubau. Lokasi makamnya terletak di bukit kecil pada kompleks Benteng Keraton Buton.
Sumber: http://www.kabarindonesia.com
Sepintas, namanya mirip nama-nama merk top dari negeri pizza, Italia. Tapi jangan salah, arguci adalah seni menjahit dari bahan polos yang diisi dan dijahit menggunakan mote-mote dengan meniru bentuk seperti tumbuhan, hewan, biji-bijian maupun benda-benda lainnya sehingga menghasilkan sulaman payet berwarna cerah.
Hasil kerajinan ini biasa digunakan masyarakat local pada latar pelaminan pernikahan, baju pengantin adat, atau juga perlengkapan tata hias kamar pengantin.
Arguci merupakan kerajinan yang menjadi cirri khas daerah Sulawesi, khusunya Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Hasil kerajinan ini tidak dapat dipisahkan dari adat perkawinan etnis Buton yang ada di Kota Bau-Bau dan Kabupaten Buton.
sumber: http://dekranasdasultra.com/
Di Indonesia, kini tidak banyak lagi ditemukan perajin kuningan. Salah satu daerah yang masih bertahan dengan kerajinan kuningnnya adalah Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara.
Dikenal sebagai Kota Sejarah, pemerintahan kesultanan Buton masa lampau ini menjadi daya tarik wisata di Sultra. Kerajinan kuningan telah ada dan berkembang pada masa kejayaan kesultanan tersebut.
Sentra usaha kerajinan kuningan Kota Bau-Bau terletak di Kecamatan Murhum, Kelurahan Melai. Pengerjaannya masih menggunakan cara tradisional warisan leluhur mereka, dengan mengandalkan kemampuan tangan. Sejak dari proses pemanasan hingga menjadi produk yang siap pakai.
Hasil produksi berupa alat-alat tradisional khas Daerah Buton dan sekitarnya, seperti tala beserta perlengkapan, asbak, perkakas rumah tangga, juga aneka perhiasan seperti anting, dan gelang.
Harga pasaran produk kuningan ini bervariasi, mulai dari harga Rp. 25. 0000, hingga ratusan ribu rupiah. Bergantung besar kecilnya suatu produk.
sumber: http://dekranasdasultra.com/
Dole-Dole merupakan salah satu bentuk tradisi budaya yang dilaksanakan atas lahirnya seorang anak. Selain itu juga sebagai bentuk pengobatan tradisional. Menurut kepercayaan, anak yang telah di Dole-Dole akan terhindar dari berbagai macam penyakit. Prosesinya sang anak diletakan diatas nyiru yang dialas dengan daun pisang yang diberi minyak kelapa. Selanjutnya anak tersebut digulingkan diatasnya sehingga seluruh badan anak tersebut berminyak. Acara ini biasanya dilaksanakan pada bulan Rajab, Sya’ban dan setelah lebaran sebagai waktu yang dianggap baik.
sumber: http://azulfachri.wordpress.com
Tarian ini menggambarkan kobaran semangat ksatria yang lincah dan gesitnya menggunakan parang, keris, tombak dan senjata lainnya di medan perang. Dengan Konsentrasi yang penuh serta ketajaman hati dan pikiran akan mampu mematahkan keampuhan senjata lawan. Tarian ini apabila ditampilkan selalu diawali dengan WORE sebagai pembakar semangat akan kecintaan dan kesetiaan terhadap tanah leluhur. Tari ini biasanya dipertontonkan pada saat musim tanam-tanaman yang syukuran hasil panen. Namun, saat ini lebih sering ditampilkan sebagai tari penyambutan tamu.
Kabengka merupakan upacara adat khitanan atau sunatan. Sebelum anak-anak menginjak usia remaja di Kulisusu, Buton Utara harus melalui satu acara ritual yaitu Kabengka dengan tujuan anak tersebut dalam mengarungi kehidupan kelak menjadi anak yang taat kepada kedua orang tua, agama, murah rejeki dan panjang umur.
sumber: http://butonutara.multiply.com
Kelurahan Ngkaringkari, Kecamatan Bungi, Kota Baubau menyimpan pesona budaya dari etnis pendatang. Masyarakat Bali yang datang ke Kota Baubau melalui program transmigrasi, turut membangun daerah ini serta tetap menjaga kebudayaan mereka. Masyarakat etnis Buton dan Bali hidup rukun di sini. Ngkaringkari sering disebut sebagai "The Little Bali". Ini bisa dikatakan nilai plus bagi para wisatawan yang datang ke Buton Raya sebab, bila Anda ke Bali, anda cuma melihat budaya Bali. Tapi, jika berkunjung ke Baubau dan menyempatkan diri ke Ngkaringkari, Anda bukan hanya bisa melihat budaya Buton Raya tapi juga budaya Bali. Di Ngkaringkari, Anda bisa melihat pemandangan indahnya sawah dan lahan pertanian lainnya yang terlihat sejauh mata memandang. Suasana pedesaan beserta keramahan warganya merupakan hal menarik yang tak boleh Anda lewatkan. Waktu yang tepat untuk mengunjungi daerah ini ialah saat perayaan hari besar agama Hindu.
Mengarak Butha Kale dari ujung kampung ke ujung lainnya adalah salah satu ritual yang dilakukan oleh umat Hindu di Kelurahan Ngkaringkari, Kecamatan Bungi, Kota Baubau menjelang ritual nyepi. Semua umat Hindu di seluruh Indonesia melakukan hal serupa.
Ritual Ogoh-ogoh merupakan acara tahunan. Acara ini menjadi perhatian warga setempat bahkan sangat ramai karena warga dan wisatawan Kota Baubau berdatangan ke Ngkaringkari untuk menyakasikannya.
Butha Kale pada ritual ogoh-ogoh itu tidak hanya sekedar diarak oleh sepuluh pria berpakaian serba putih dan berikat kepala. Tetapi mereka juga melakukan gerakan menari diiringi gendang dan alat musik tradisional. Gerakan itu dilakukan sepanjang jalan dari ujung timur ujung barat lalu kembali lagi ke timur.
Setiap tempat yang dilalui Butha Kale diyakini bisa menghilangkan sial yang oleh masyarakat Kelurahan Ngkaringkari disebut aura negatif alam. Butha Kale adalah perwujudan iblis yang sangat besar (raksasa) berwarna merah, bertaring, memegang kapak, kuku kaki dan tangan tajam, berambut panjang dan ditemani dua ekor monyet.
Sehari sebelum ritual ogoh-ogoh digelar, umat Hindu Ngkaringkari melakukan melasti di Pantai Lamboro. Melasti adalah ritual membuang segala kekotoran alam semesta yang tertanam dalam jiwa manusia. Usai melasti, digelar pirse lalu sawer pesange yang bertujuan untuk memberi persembahan kepada Butha Kale.
Butha Kale bisa diartikan sebagai mahluk yang berada di bawah manusia. Sedangkan persembahan untuk Butha Kale bertujuan untuk menciptakan keseimbangan alam semesta sekaligus bisa dijauhi dari semua ganguan dalam bentuk apapun pada saat ritual nyepi.
Butha Kale pada ogoh-ogoh di Ngkaringkari terbuat dari gabus menyerupai raksasa setinggi kurang lebih 3 meter. Butha Kale diletakkan di atas beberapa bambu-bambu yang diikat menyatu menyerupai salah satu permainan dalam pramuka, lalu diarak sejauh kurang lebih 7 km
Selain Butha Kale ternyata ada dua orang pelengkap memakai topeng yang menyerupai Butha Kale ikut menari-nari. Dua orang ini juga menjadi salah satu pusat perhatian setiap orang yang menonton. Kebanyakan anak-anak takut untuk mendekatinya.
Butha Kale di penghujung ritual harus dibakar. Maksudnya, agar seluruh kesialan yang mengikut bersamanya ikut terbakar.
sumber: http://www.baubaupos.com
Batu Yigandangi (biasa juga disebut batu Wolio ataupun batu Igandangi), terletak di tengah kawasan Benteng Keraton di kelurahan Melai kecamatan Murhum kota Baubau. Batu Yigandangi merupakan batu yang digunakan dalam rangkaian prosesi pelantikan Raja/Sultan yang dilantik pada hari Jumat. Sebelum pelantikan Sultan, tepatnya Kamis sore, empat orang Bonto Siolimbona mengambil air dari salah satu mata air sebanyak delapan ruas bambu. Air tersebut kemudian disiramkan ke Batu Yigandangi dan dipukulkan gendang. Air tersebut juga kemudian dicampurkan ke air mandi calon Sultan sebelum berangkat shalat Jum'at. Pelantikan Sultan dilakukan di dalam Masjid Agung Keraton Buton dan di Batu Popaua. Kini masyarakat setempat menganggap belum sampai ke tanah Buton jika belum menyentuh batu ini.
sumber: http://wolio.wordpress.com/
Gua ini merupakan sebuah cerok kecil bentukan alam setinggi kurang lebih 1,5 m. gua ini pernah dijadikan sebagai tempat persembunyian Latoondu (Arupalaka) seorang raja Bone yang cukup berpengaruh ditanah Bugis. Ia melarikan diri ke Buton tahun 1660 dan menetap untuk waktu yang tidak begitu lama. Kemudian kembali ke Sulawesi selatan memimpin perlawanan menghadapi Gowa.
sumber: http://azulfachri.wordpress.com/
Batu Popaua, Batu pelantikan yang terletak di depan Masjid Agung, berbentuk batu ponu atau simbol kewanitaan, tempat Raja/Sultan dilantik oleh Dewan Mentri dengan cara memutarkan payung di atas kepalanya, batu ini dianggap suci dan keramat dan di percaya tempat pertama kalinya Raja Buton pertama Ratu Waa Kaa Kaa menginjakkan kakinya.
sumber: http://azulfachri.wordpress.com/
Goraana Oputa atau Maludju Wolio merupakan akulutasi budaya dan Islam dalam menyambut kelahiran Nabi Muhamma SAW setiap malam 12 Rabiul Awal pukul 00.00 WITA hingga pukul 03.00 WITA dini hari. Maludju Wolio pada masa Kesultanan Buton selalu digelar di istana sultan. Kini digelar di Rujab Walikota Baubau.
sumber: baubaupos.com
Puncak yang terbentuk dari karang alami ini perlahan tapi pasti mendapatkan perhatian dari masyarakat sekitar, dan rata-rata tak kurang dari 100 orang mengunjungi tempat yang selain menyewakan gazebo dan pondok ini juga menjual makanan dan minuman. Nama Mardadi sebetulnya diambil dari nama daerah keramat yang berada tak jauh dari Puncak. Dari kejauhan, Puncak Indah Mardadi (PIM) ini terlihat seperti sebuah kapal dengan buritan kapal yang menghadap ke arah timur sehingga bagian depan dilengkapi dengan beberapa kanopi tempat anak muda bercengkerama sambil menikmati matahari terbenam. PIM pun dipercantik dengan aksesoris jangkar raksasa yang digantung di bagian depan sehingga memperkuat citra tempat ini sebagai puncak karang alami yang menyerupai sebuah kapal.
sumber: aci.detik.com
Kepulauan Wakatobi dikenal sebagian besar penduduknya beragama Islam, sehingga tak heran jika bangunan masjid tua banyak ditemukan di sana. Di salah satu pulau terbesar di Wakatobi, Kaledupa tepatnya di Desa Ollo terdapat masjid tua yang sarat akan sejarah dan makna budaya setempat.
Menurut keterangan sesepuh setempat, terdapat beberapa kisah yang berkaitan dengan masjid tersebut diantaranya yaitu bahwa masjid ini dibangun oleh orang yang sama dengan pembangun masjid di Keraton Buton dan Ternate dalam waktu bersamaan. Tepat di titik tengah bangunan masjid ini terdapat tanda khusus yang sampai sekarang masih dijaga keasliannya yang menyerupai lafaz muhammad. Titik tengah ini juga diriwayatkan pernah menjadi lokasi pemakaman secara hidup-hidup putri setempat yang berbaju daerah sesaat sebelum dibangunnya masjid ini. Masyarakat setempat juga percaya bahwa masjid ini pernah dicoba untuk direnovasi 3 kali, namun ketiga orang yang mencoba merenovasi tersebut meninggal dunia.
Selain penuh dengan cerita yang berbau legenda, masjid ini pun memiliki banyak makna pada setiap bagian bangunannya. Contohnya adalah adalah jumlah anak tangga menuju halaman masjid yang berjumlah tujuh, melambangkan 4 unsur tingkatan derajat manusia sesuai budaya setempat ditambah dengan 3 unsur pengawal raja. Batu penyusun anak tangga tersbut pun terbuat dari bahan yang berbeda-beda, menyesuaikan dengan filsafat tiap anak tangganya. Jumlah pintu dan jendela masjid ini pun berjumlah 17 yang melambangkan jumlah kewajiban rakaat yang harus dipenuhi setiap muslim.
Seakan tak ada habisnya memang jika mencoba untuk menguak setiap detil yang ada di masjid bersejarah warga Ollo ini, tapi warga setempat tidak terlalu ambil pusing dengan sejarah yang rumit atas masjid tersebut dan mengembalikan ke fitrahnya sebagai sebuah tempat ibadah sehari-hari, sebuah sikap sederhana yang terkadang patut ditiru.
sumber: aci.detik.com
Kota Bau-Bau kian hari semakin berkembang, seiring ekonominya yang semakin meningkat tentu kebutuhan warganya akan tempat rekreasi pun semakin meningkat. Salah satu alternatif tempat wisata di Bau-Bau adalah pemandian Bungi.
Sebetulnya tempat ini hanyalah tempat warga sekitar melakukan aktivitasnya yang berkaitan dengan kebutuhannya akan sebuah sungai. Tapi lama kelamaan seiring meningkatnya keinginan warga untuk mendapatkan tempat wisata yang baru, beberapa tahun belakangan ini tidak hanya warga setempat tapi juga dari wilayah lain di Bau-Bau juga mengunjungi tempat ini sehingga secara perlahan tempat ini dikenal sebagai salah satu tempat wisata di Bau-Bau.
Pada sore hari dan musim liburan biasanya banyak warga yang datang untuk menikmati Pemandian Bungi ini. Alasan lain warga berkunjung ke tempat ini adalah sebagai alternatif bagi warga yang kurang berkenan dengan keramaian di Air Terjun Tirta Rimba karena jarak kedua tempat ini yang berdekatan. Selain itu pemandian yang terletak di Kecamatan Bungi Kota Bau-Bau tidak memungut biaya sama sekali kepada pengunjung, lagi-lagi biaya menjadi faktor utama dalam pariwisata di Indonesia.
sumber: aci.detik.com
Orang Bau-Bau menyebut air terjun sebagai air jatuh, sedangkan yang dimaksud air jatuh disini adalah Air Terjun Tirta Rimba. Tidak banyak memang air terjun di kota ini, dan Tirta Rimba merupakan salah satu yang paling populer bagi warga sekitar.
Air Terjun yang merupakan aliran Sungai Kokalukuna ini mempunyai ketinggian hanya sekitar 6 meter dengan lebar aliran sungai sepanjang kurang lebih 5 meter. Air mengalir dari atas melalui batu-batu besar menuju kolam yang telah dibentuk dengan ukuran sekitar 10x7 meter lengkap dengan papan tempat meluncur layaknya kolam renang. Tempat ini menjadi favorit terutama bagi anak-anak dan biasanya dikunjungi pada hari libur, sehingga bila berkunjung pada hari kerja suasana sepi dan damai akan kita dapatkan disana karena hanya terdapat beberapa pengunjung saja.
Air Terjun yang terletak 4 km dari kota Bau-Bau ini menjadi favorit warga sekitar karena selain letaknya yang strategis juga murah meriah. Pengunjung hanya dikenakan tarif sebesar Rp.2.000 dan bahkan pada saat di luar musim liburan pengunjung tidak dikenakan tarif sepeser pun. "Biasanya hanya hari libur saja ada yang jaga dan mengutip (memungut uang retribusi), itu pun tidak tentu kadang dari Dispenda, kadang dari Kehutanan, kadang dari instansi lainnya", tutur salah satu warga yang sering berkunjung ke sana.
Cara terbaik untuk menikmati Air Terjun Tirta Rimba ini adalah dengan berdiri di bawah aliran air dekat batu-batu besar, karena airnya tidak terlalu deras sehingga cukup nyaman untuk berdiri di bawahnya. Air di sini juga sangat jernih karena memang tempat ini merupakan salah satu daerah konservasi yang berada dalam pengawasan Kementerian Kehutanan. Beberapa meter dari air terjun ini telah dibangun saluran khusus yang dibentuk sedemikian rupa sehingga mirip aliran sungai alami yang berundak-undak dan ketika musim hujan tiba, seluruh aliran tersebut tertutupi air sehingga musim hujan terkadang menjadi waktu terbaik untuk mengunjungi Air Terjun Tirta Rimba.
sumber: aci.detik.com
Berada tidak jauh di luar kompleks keraton, terdapat istana Sultan Buton ke-38 yang kini menjadi museum atau Pusat Kebudayaan Wolio. Gagasan pendirian museum datang dari putra Sultan Buton ke-38 Drs. H. La Ode Manarfa Kaimuddin KK pada 1980. Saat ini Museum Kebudayaan Wolio dikelola oleh keluarga keturunan Sultan Buton ke-38. Koleksi museum terdiri atas benda-benda peninggalan dari Kesultanan Buton ke-38, berupa alat-alat upacara seperti tempolong, altar, vas bunga, senjata atau alat-alat peperangan seperti tombak, meriam, alat kesenian, alat rumah tangga, keramik, foto-foto dan lainnya.
Jika ingin mengetahui seluk-beluk Kesultanan Buton, menghunjungi Pusat Kebudayaan Wolio merupakan pilihan yang tepat. Tempat ini memang sengaja menjaga sejarah keslutanan Buton tidak hanya dalam bentuk benda-banda besejarah tapi juga kisah-kisah yang siap diungkapkan oleh keluarga yang menjaganya serta tak kalah penting nilai-nilai falsafah kehidupan orang Buton sendiri.
Cukup banyak falsafah hidup orang Buton yang sarat akan makna, diantaranya adalah Empat Aturan Dalam hidup bernegara dan berbangsa mereka memegang teguh empat aturan, yaitu Inda inda mo arata somanamo karo artinya, korbankan harta demi keselamatan diri. Kemudian Inda inda mo karo somana mo lipu, artinya korbankan diri demi keselamatan negeri, kemudian Inda inda mo lupu somanamu syara, artinya korbankan negeri yang penting pemerintahan. Terakhir adalah Inda inda mo syara somanamu agama artinya biarlah pemerintahan hancur yang penting agama.
Falsafah perjuangan kerajaan Buton ini tidak menentukan agama apa yang harus dibela, karena agama apapun sama saja, jika itu sudah menjadi pilihan orang atau negara yang bersangkutan. Selain falsafah negara, Orang Buton mempunyai falsafah hidup, yakni Po Mae Maeka, artinya sesama manusia harus tenggang rasa. Po ma ma siaka, artinya tiap manusia harus saling menyayangi, Po angka angka taka artinya tiap manusia harus saling menghargai dan Po pia piara artinya tiap manusia harus saling memelihara. Karena falsafah ini maka pasangan suami istri di Buton sangat awet dan takut sekali bercerai, mungkin prinsip ini perlu diadopsi banyak orang jaman sekarang yang sedikit bermasalah dengan yang terakhir ini.sumber: aci.detik.com