SELAMAT DATANG DI GREAT BUTON WEBLOG

Weblog ini akan memperkenalkan kepada anda tentang keeksotikan daerah-daerah di Buton dari sisi kebudayaan, tradisi, kesenian, dan alam. Buton yang dimaksud ialah Buton secara umum yang meliputi Kota Baubau, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Buton, dan Kabupaten Buton Utara di Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia.
| 3 komentar ]


Pada acara ritual puncak pesta adat tahunan Takimpo Lipuogena, Parabela selaku Ketua Adat memimpin acara yang diawali dengan pelepasan rombongan Ande-ande, Gilisoria, Lakadandio serta rombongan Kalambe yang akan berjalan mengelilingi kampung.
Ande-ande mengambarkan kelompok anak yang baru belajar merangkak dan masih berada dalam dekapan sang ibu. Hal tersebut disimbolkan dengan gerakan tangan sejajar dada dengan suara laksana bayi. Kelompok kedua yang disebut Gilisoria menggambarkan anak yang sudah dapat berjalan dan disimbolkan dengan gerakan tangan ke atas. Selanjutnya, kelompok ketiga yang disebut Lakadandio menggambarkan kelompok anak lelaki yang telah beranjak dewasa. Yang terakhir yaitu kelompok Kalambe, menggambarkan kelompok wanita yang telah dewasa
Empat rombongan yang dilepas oleh parabela mempunyai makna, kelak nantinya anak akan meninggalkan rumah. Prosesi pelepasan diiring dengan nasehat yang disebut Lakedo. setelah rombongan yang dilepas pergi mengelilingi kampung, mereka kembali ke Baruga. Kemudian Parabela dan pendampingnya yang disebut Waci menerima kembali keempat kelompok dan diberi nasehat kembali yang disebut "Lakedo".
Prosesi selanjutnya yaitu, Lawapulu yang berati dialog antara parabela dengan parabela pemuda, yang dimulai dengan mengucapkan salam penghormatan dengan tokoh adat dan tokoh agama. dua rangkaian ritual adat berturut-turut yang dilakukan yaitu lantun syair Ndo-ndo yang dilagukan oleh syara adat dan syara hukumu. Kemudian ritual Pidao'a yang dianalogikan proses jual beli. Prosesi ini dilakukan dengan tukar menukar barang (barter). Pelaksanaan prosesi ini dilaksanakan oleh kelompok kalambe. Ritual adat yang terakhir dilakukan yaitu Posanga'a yang artinya pamitan parabela Ana moane. Seluruh rangkaian pesta adat tersebut diadakan untuk menghimpun doa kepada maha kuasa agar saat musim tanam mendapat berkah dan hasil yang baik.

| 0 komentar ]


Samparona yang terletak di Desa Kaesabu Kecamatan Sorawolio, Kota Baubau telah menjadi tempat pelaksanaan Perkemahan Putri Nasional (Perkempinas) I dan telah masuk ke dalam kategori standar Nasional yang dapat menampung 1500 peserta pramuka.

Lokasi ini sebelumnya merupakan areal hutan pinus. Dengan dijadikannya tempat ini sebagai kawasan perkemahan, selain dapat digunakan sebagai tempat rekreasi juga dapat dimanfaatkan sebagai arena outbond training.

| 1 komentar ]


HONARI MOSEGA adalah tarian perang asli asal Liya, Kabupaten Wakatobi yang dahulu kala dijadikan sebagai tarian pengintai musuh yang diperkirakan mulai terjadi sejak pertengahan abad XI di pulau Oroho. Tarian ini dahulu kala dikembangkan oleh para Hulubalang dan Bajak Laut yang bermukim di pulau tersebut dalam rangka mempertahankan wilayah kekuasaan mereka dari para musuh yang akan memasuki daratan. Dan pengintaian ini akan nampak pada pasukan pengawal sejumlah 40 orang yang seluruhnya membawa tombak dengan hulu tajam, yang mana dikomandoi oleh seorang pembawa bendera berwarna kuning dengan memakai topi yang berhiaskan cermin. Antara isyarat yang diberikan oleh gerakan HORANI MOSEGA dengan prajurit pengawal 40 orang ini merupakan suatu kesatuan komando yang dinampakkan pada saat penghormatan para panari tersebut.
Dalam lingkungan keraton Liya penari HONARI MOSEGA ini pertama-tama menghadap ke Mesjid Agung Keraton Liya dan memberi hormat, kemudian setelah itu mulai teriak dan menari samnil membuka penghormatan arah Makam Leluhur sebelah utara dan melanjutkan gerakan tarian arah selatan dan diujung memberi hormat para penduduk dan kemudian melanjutkan kerakan menuju makam leluhur kembali sambil memberi hormat terakhir dilanjutkan bergerak menuju arah Baruga (tempat pertemuan Raja) dan menyerahkan katompide ditamsilkan barat mayat seorang yang sudah ditombak.
Katompide ditaruh ditanah sambil di beri perhatian 3 kali apakah mayat ini masih bergoyang atau tidak dan terus diawasi dengan bergerak mundur memutar melingkar dan maju kembali untk menonbak sambil mengambil tangkisan tersebut dan meloncat teriak dan berpaling dan menuju ke arah mesjid menombak sambil memutar dan terakhir memberi hormat.

Pada masa lalu sering tarian HONARI MOSEGA ini diserta dengan Makandara, yakni setelah penari memberi penghormatan terakhir, lalu masuklah pasulan SARA sebanyak 40 orang yang mengawal HONARI MOSEGA ini lalu mereka Makandara melakukan gerakan-gerakan silat layaknya peperangan melawan musuh lalu dilakukannya penikaman antara sesama pasukan dengan senjata tombak dan keris namun kesemua perlakuan ini tak ada satupun yang cedera dimakan oleh senjata tombak atau keris.
Pada kondisi demikian ini seluruh warga Liya yang sedang menonton semuanya lari kocar kacir menyembunyikan diri karena mereka merasa takut melihat ujung-ujung tombak yang dihantamkan pada dada atau perut seseorang dengan diserta bunyi namun orang yang ditombak tersebut tidak dimakan senjata tombak ibarat bunyi gemercingan besi diterima oleh tubuhnya. Namun perlakuan Makandara semacam ini masa kini sudah tidak lagi bisa dipakai mengingat ilmu-ilmu kebal sudah mulai agak funah di Liya dan Sara yang mempunyai kemampuan untuk mengatasi mara bahaya dari kagiatan ini sudah pada meninggal dunia.

Dalam tarian aslinya simbol-simbol gerakan diciptakan dengan tujuan dan maksud-maksud tertentu dan ketika itu hanya para perajurit pengawal 40 orang dan para hulubalang dan bajak laut yang mengetahui isyarat-isyarat itu untuk pemberian sebuah komando apakah menyerang atau menyambut lawan dengan baik.



| 3 komentar ]


Tarian ini menampilkan sejumlah simbol perilaku sosial masyarakat tradisional di Kabaena, salah satu pulau besar setelah Buton dan Muna di Provinsi Sulawesi Tenggara. Klimaks dari tarian ini adalah sebagian penari menghunus parang tajam, lalu batang-batang pisang pun rebah ke tanah!

Seperti kebanyakan seni tari tradisional yang masih orisinal, tarian lumense kurang mengeksplorasi tubuh melalui gerakan-gerakan yang dapat lebih mengekspresikan simbol-simbol keseharian masyarakat pendukung kesenian tersebut.

Gerak para penari hanya mengandalkan gerakan dasar dengan dukungan irama musik dari tetabuhan gendang dan bunyi gong besar (tawa-tawa) dan gong kecil (ndengu-ndengu). Namun, secara artistik, gerak tari lumense tetap memenuhi kriteria tontonan.

Terdapat tiga penabuh gendang, tawa-tawa, dan ndengu-ndengu yang bertugas membunyikan instrumennya, sebaris penari, dan anakan pohon pisang dalam jarak tertentu. Jumlah pohon disesuaikan dengan jumlah pemain ”putra”.

Kelompok penari lumense biasanya berjumlah 12 wanita muda: enam berperan sebagai pemain putra, dan sisanya sebagai putri. Semua pemain menggunakan busana adat Kabaena dengan rok berwarna merah maron. Baju atasnya hitam. Baju ini disebut taincombo, yang bagian bawah mirip ikan duyung.

Khusus para penari lumense, taincombo dipadu dengan selendang merah. Kelompok putra ditandai adanya korobi (sarung parang dari kayu) yang disandang di pinggang sebelah kiri. Parang atau ta-owu yang disarungkan di korobi dibuat khusus oleh pandai besi lokal dan selalu diasah agar matanya tetap tajam.

Tarian ini diawali gerakan-gerakan maju mundur, bertukar tempat, kemudian saling mencari pasangan. Gerakan mengalir terus hingga membuat konfigurasi leter Z, lalu diubah lagi menjadi leter S. Pada tahap ini ditampilkan gerakan lebih dinamis yang disebut momaani (ibing).

Pada saat itu tarian ini akan terasa amat menegangkan. Pasalnya, parang telah dicabut dari sarungnya dan diarahkan ke kepala penari putri sambil masih terus momaani. Dalam sekejap parang itu kemudian ditetakkan (ditebaskan) ke batang pisang. Dalam sekali ayun semua pohon pisang rebah bersamaan.

Tarian lumense ditutup dengan sebuah konfigurasi berbentuk setengah lingkaran. Pada episode ini para penari membuat gerakan tari lulo, dengan jari yang saling mengait sedemikian rupa sehingga telapak tangan masing-masing saling bertaut, lalu secara bersama digerakkan turun-naik untuk mengimbangi ayunan kaki yang mundur-maju.

Sekadar diketahui, tari lulo adalah tari pergaulan masyarakat Sultra di zaman modern ini. Tari yang dimainkan secara massal itu adalah tari tradisional masyarakat Tolaki di daratan jazirah Sultra, juga masyarakat Kabaena dengan perbedaan pola atau versi gerakan yang tipis.

Sebagian besar penduduk Pulau Kabaena sampai saat ini adalah petani tradisional. Membuka hutan untuk berladang atau berkebun adalah pola pertanian yang masih berlaku, terutama di pedalaman. Korobi atau sarung parang yang disandang penari ”putra” merupakan pengungkapan dari aktivitas keseharian masyarakat agraris yang masih tradisional itu.

Ada pula pihak-pihak yang menyebut tarian lumense tidak ramah lingkungan, itu hanya karena menampilkan adegan menebas pohon pisang. Namun, bagi masyarakat Kabaena, pohon pisang tidak bisa diganti dengan properti lain. Pasalnya, pohon pisang dipersonifikasikan sebagai bencana yang harus dicegah.

Bencana bisa dalam bentuk banjir, tanah longsor, wabah penyakit, dan kerusuhan sosial. Maka, ketika pohon pisang telah rebah, artinya bencana telah dapat dicegah, dan warga pun akan hidup dalam suasana yang aman dan tenteram.

Kekompakan dan rasa kekerabatan juga menjadi komitmen dalam kehidupan sosial masyarakat tradisional Kabaena. Hal itu disimbolkan dengan konfigurasi tarian massal lulo tadi.

Pada zaman dahulu (tarian) lumense ditampilkan dalam suatu acara ritual yang disebut pe-olia, yaitu penyembahan dalam bentuk penyajian aneka jenis makanan kepada roh halus agar roh halus yang disebut kowonuano (penguasa/pemilik negeri) berkenan mengusir segala macam bencana bagi ketenteraman hidup manusia. Penutup atau klimaks dari upacara sesajen tersebut adalah penebasan pohon pisang.

Tarian ini juga sering ditampilkan pada masa Kesultanan Buton. Kabaena dan Buton memiliki hubungan yang kuat dan tidak dapat dipisahkan karena Kabaena merupakan salah satu wilayah kesultanan Buton.

| 0 komentar ]

Tari Linda merupakan salah satu tari tradisional Buton, yang ditarikan gadi-gadis sebagai bagian dari ritual Posuo, yakni setelah 7 hari 8 malam para gadis menjalankan ritual tersebut. Adapun tarian yang berasal dari Kelurahan Waborobo Buton ini memperagakan gerakan dengan mengenakan selendang.



| 1 komentar ]

Topa adalah sebuah kampung antara Pantai Nirwana dan Pantai Lakeba. Tempat ini berada di dekat Bandara Betoambari, Kota Baubau. Para masyarakat setempat menyebut tempat yang baru saja rampung ini dengan sebutan Pantai Topa. Di sini pengunjung dapat menikmati keindahan laut dan juga tentunya berenang.



| 0 komentar ]

Danau Tei Lalo menjadi salah satu obyek wisata kebanggaan masyarakat Kadatua. Jauh dari bibir pantai, dengan mengandalkan pasang surut air laut, menjadikan danau berbentuk telapak ini menambah khazana obyek wisata di Kecamatan Kadatua, Kabupaten Buton. Jarak ratusan meter dari bibir pantai dengan sumber air yang bergantung pada pasang surutnya air laut membuat masyarakat Kadatua mensakralkan lokasi tersebut. Sesuai dengan namanya, Tei Lalo dengan sumber mata air yang berasal dari laut, rasa air danau tei lalo sama dengan asinnya air laut. Bentuknya yang mirik tapak kaki, danau tei lalo dikisahkan masyarakat Kadatua bahwa danau tersebut merupakan jejak atau tapak kaki orang-orang terdahulu saat menginjakan kakinya di pulau tersebut. Sejumlah pohon beringin yang tumbuh dengan rindangnya dibibir danau membuat suasana menjadi sejuk saat menikmati panorama danau yang tidak jauh dari Kantor Camat Kadatua ini. Hidup berbagai jenis ikan dan penyu atau kura-kura danaui ini menjadi menarik untuk jadi obyek wisata alam Kadatua. Sebagai obyek wisata yang belum dikenal dimasyarakat luas, danau tei lalo masih dikunjungi masyarakat sepulau Kadatua. Danau ini mulai ramai pengunjung saat lebaran. Untuk masayarakat Kadatua, danau tei lalo memiliki fungi ganda selain obyek wisata juga sebagai lokasi latihan olahraga renang. Tidak heran, sejumlah atlit renang Kadatua mampu mengharumkan nama Kabupaten Buton pada iven-iven olahraga renang baik ditingkat provinsi maupun skala nasional.

| 0 komentar ]


Pantai Waara dekat kawasan Pelabuhan feri Wamengkoli menyimpan potensi menjadi tempat wisata jika dikelolah dengan baik. Hal ini terlihat dari kondisi pantai dengan pasir putih serta air yang bening ditambah lagi terumbu karang yang ada di pantai tersebut punya daya tarik tersendiri. Setiap penumpang yang sedang menunggu feri pasti menyempatkan untuk pergi ke pantai tersebut apalagi jaraknya yang berdekatan dengan Pelabuhan feri. Ikan-ikan yang terdapat di kawasan pantai tersebut juga beragam dan unik. Rata-rata orang yang datang di pantai itu penumpang feri yang menghilangkan kejenuhan menunggu feri yang belum datang. Suasana di pantai ini sangat menyenangkan dan cocok sekali menjadi tempat bersantai. Apalagi pemandangan disekitar pantai cukup indah.

| 0 komentar ]


Pantai kawasan wisata Membuku merupakan salah satu obyek wisata yang dibanggakan warga Buton Utara. Pantai Membuku yang terletak di tepi laut Banda akan menjadi tujuan wisata primadona.

| 0 komentar ]


Taman inovasi Pemkot dan BRI Baubau ini merupakan pilihan alteranatif yang tepat untuk refresing sambil menikmati makanan ringan. Pemandangan laut, rindangnya pepohonan, dan aktifitas pelabuhan Murhum tampak dari atas menjadi keunggulan yang ditawarkan taman tersebut.



Taman hijau diseputaran Jalan Letter Buton ini dapat digunakan sebagai tempat santai dengan nuansa alam yang indah. Banyak pemandangan yang menyejukkan di sini. Selain itu tempat yang baru saja diresmikan sebagai salah satu taman wisata yang berada di Kota Baubau ini juga bisa digunakan sebagai tempat olah raga, baik secara pribadi maupun keluarga.

| 0 komentar ]


Tarian Galangi hingga kini masih menjadi kebanggaan masyarakat Buton. Tarian ini sudah ada sejak masa kesultanan. Pasukan Galangi merupakan pasukan pengawal Sultan Buton

| 0 komentar ]

Piduaano kuri adalah sebuah ritual budaya yang di lakukan oleh masyarakat Wabula, Kecamatan Wabula Kabupaten Buton. Kegiatan ini merupakan kegiatan penutup dari keseluruhan rangkaian kegiatan adat dan budaya masyarakat wabula selama satu tahun.
Secara harafiah Pidoaano Kuri berarti pembacaan doa untuk keselamatan hidup, sehingga keseluruhan acara tersebut dilandasi oleh doa syukur kepada Allah atas Rahmat dan Hidayah-Nya sejak tahun lalu hingga sekarang dan permohonan doa untuk tahun yang akan datang.











| 0 komentar ]

Foto-foto kadal terbang yang ditemukan di hutan Lambusango, Buton, Indonesia. Bagian yang seperti sayap adalah bagian dada yang melebar. Karena ukurannya yang kecil, kadal ini sering pula disebut cicak. Corak tubuhnya menyerupai kulit kayu, yang berfungsi untuk melindungi diri dari cekaman musuh. Buton memang merupakan salah satu daerah yang masuk dalam zona Wallacea yang terkenal akan fauna endemik salah satunya ialah kadal terbang ini.




| 1 komentar ]


Sekitar 8.000 hektare areal hutan bakau dari 25.000 hektare luas hutan di Kabupaten Buton Utara (Butur), akan dikembangkan menjadi kawasan wisata andalan guna menarik arus wisatawan ke daerah tersebut. Hutan bakau, dapat memberikan nilai ekonomi kepada masyarakat sekitarnya. Disamping juga memberi manfaat ekologis seperti mencegah abrasi, meminimalisasikan dampak gelombang pasang, dan terpenting adalah dapat membantu mengurangi pemanasan global. Kawasan hutan bakau yang berada di dua kecamatan yakni di Teluk Kulisusu Dalam dan wilayah Buranga pusat ibukota kabupaten, kini dalam tahap desain penetapan wilayah sekaligus akan mengubah kabupaten itu sebagai pusat kawasan budi daya laut “marine culture estate”. Program budi daya laut dimaksudkan agar bakau yang ada di kawasan itu tetap terjaga kelestariannya dengan memadukan program diversifikasi untuk pengembangan kepiting bakau, keramba apung tikus dan budidaya rumput laut (agar-agar).

| 0 komentar ]



Secara harfiah, Bongkaana Tao berarti membongkar tahun. Acara tersebut merupakan pesta panen dan ritual menolak bala (bahaya. Akan ada upacara melabuhkan sesajen ke lautan sambil berdoa agar segala bencana bisa lenyap dan hilang di lautan lepas. Ada dua maksud digelarnya acara tersebut. Pertama adalah ungkapan rasa syukur atas rezeki yang dicurahkan Allah kepada warga sekitar. Kedua adalah memanjatkan doa agar dijauhkan dari segala bahaya dan sial yang bisa datang sewaktu-waktu. Jadi Bongkaana Tao artinya menutup masa panen dengan penuh suka cita sambil berharap agar tahun berikutnya lebih mendatangkan rezeki dan pengharapan.

Sesajennya berbentuk perahu dan di haluan terdapat kayu berbentuk kepala buaya, sedangkan di bagian buritan atau belakang perahu sesajen tersebut, terdapat patung ekor buaya. Menurut hikayat, dahulu di dasar sumur itu berdiam seekor buaya yang sakti sehingga sumur itu dianggap keramat. Hingga satu saat, buaya tersebut lenyap kemudian ada warga yang seakan mendapatkan wangsit agar setiap tahun diadakan ritual di sumur tersebut agar membuang sial dan mendoakan semua warga agar selalu bahagia dan bertambah rezekinya. Warga yang mendapatkan wangsit itu, selanjutnya menjadi pemimpin doa. Hingga bertahun setelah dia meninggal, posisinya akan digantikan oleh keturunannya.

Isis sesajen biasanya berupa makanan khas Buton seperti lapa-lapa, telur, dan aneka lauk-pauk. Setelah itu, seorang moji datang membawa tempat dupa, kemudian acara itu dimulai. Mereka lalu membakar dupa di kemenyan lalu sama-sama berdoa. Doa disampaikan dalam bahasa Arab dan diselingi dengan bahasa Indonesia. Saya mendengar beberapa kalimat yang diucapkan seperti jamaliyah, jalaliyah, yang kesemuanya adalah manifestasi sifat-sifat Tuhan. Kata tersebut sering diucapkan mereka yang mendalami tasawuf dan tarekat.

Usai berdoa, mereka lalu mengusung sesajen tersebut, kemudian membawanya ke laut. Mereka lalu berjalan menuju ke dekat lapangan tempat pekande-kandea, lalu ke dekat laut dan melepaskan perahu sesajen tersebut secara bersama-sama.

| 0 komentar ]



Sebelum memasuki benteng, terdapat gapura sederhana bertuliskan welcome to Patua, yang belakangan baru dibuat masyarakat setempat. Untuk menjangkau benteng, bisa menggunakan ojek dan angkot. Benteng pertahanan Patua menggambarkan adanya prajurit (militer) terorganisir ketika itu, prajurit salah satu negara di Jazirah Sulawesi Tenggara dengan pusat pimpinan di Wolio. Tomia masuk dalam wilayah Bharata Kaledupa (Kahedupa) daerah otonom di Bawah Pemerintahan Kesultanan Buton.
Hefafoa atau lazimnya disebut henangkara, kini tinggal sebuah bekas perkampungan tak berpenghuni karena sudah berabad-abad lamanya ditinggalkan. Pemimpin ketika itu La Ode Abu, memilih membangun benteng di bukit terjal di sebelah Timur Desa Kollo Patua. Benteng yang kira-kira seluas satu setengah lapangan sepak bola itu, berada di ketinggian kira-kira 100 meter di atas permukaan laut.
Sekedar untuk diketahui, La Ode Abu merupakan bontona Waha, putra kandung La Burukeni Taeni yang merupakan keturunan langsung dari La Ode Guntu asal Wolio dari golongan bangsawan Tanailandu. “Tahun 1830, distrik pertama dipimpin putra kandung La Ode Abu yang dikenal dengan nama La Mboge. La Mboge mempunyai lima orang anak dari hasil perkawinannya dengan Wa Ana, yakni La Hatibi, Tambusae, Lamasinae, La Taudu, dan Wa Tairu. Selanjutnya Kepala Distrik secara terus-menerus dijabat oleh keturunannya. Mulai dari La Masinae (H Ismail), dan H Muh Isa (anak La Hatibi).
Beralih ke Benteng Patua. Jika berada di atas benteng, dengan mudah kita dapat melihat bentangan laut banda, indahnya karang atol yang tampak putih muncul mungil dari kedalaman laut, teguhnya Pulau Runduma, Kaledupa, Wangi-Wangi, dan tampak samar Pulau Buton. Rupanya tempat itu cukup strategis untuk pencitraan jauh, melihat setiap lalu-lintas bajak laut dan kapal-kapal musuh yang dapat diantipasi jika sewaktu-waktu mengancam eksistensinya ketika itu.
Pulau Tomia yang terletak di Laut Banda, merupakan jalur menuju Barat dan Timur Nusantara menjadi salah satu tempat yang disinggahi oleh pelaut dan pedagang dari daerah lain ketika itu. Karena memiliki sebuah pemerintahan, maka didirikanlah benteng yang dijaikan sebagai fasilitas untuk mempertahankan eksistensi, sekaligus bisa dikatakan sebagai satu-satunya bangunan megah di sana beberapa abad yang lalu.
Konstruksi Benteng Patua terdiri dari batu gunung yang disusun menyerupai dinding, ketebalan satu hingga 1,5 meter dengan ketinggian berfariasi dari 0,5 hingga 3 meter. Pintu masuk benteng menghadap Timur dengan bentuk zigzag. Jika anda datang tanpa dipandu, salah-salah anda masuk hutan dan tak dapat masuk ke bagian dalam benteng.
Bisa dikatakan kekuasaan ketika itu sudah tersentuh oleh Islam. Karena di salah satu bagian benteng, terdapat bekas masjid. Entah bagaimana arsitekturnya, namun bisa dibayangkan mesjidnya tidak terlalu megah, namun sisa lantai yang rata dari kapur masih ada. Menurut tokoh budaya, La Maode, yang secara sengaja saya berkunjung ke rumahnya tahun lalu, saya masih ingat ia mengatakan masjid di dalam benteng ketika itu konstruksinya sagat sederhana. Yakni beratapkan daun nipa serta berdinding jalaja.
Di dalam benteng juga terdapat kuburan keramat orang nomor satu ketika itu. Di bagian tengah, terdapat takhta raja yang terdiri dari lempengan batu yang licin dan terlihat sangat istimewa. Ya bisa dipastikan jika batu itu adalah altar raja yang membelakangi tebing dan gorong-gorong yang tampak aman untuk dijadikan tempat berlindung. Sejurus dengan takhta itu, terdapat jalan pintas berbentuk rongga tembus ke hutan belantara menuju arah selatan benteng.
Sebuah rongga yang menembus dasar benteng. Sepanjang rongga itu, terdapat batu halus berwarna cerah tersusun rapi menyerupai pengerasan jalan dari kerikil, namun lebih artistik tak bercampur tanah sedikit pun. Ketika wartawan koran ini mencoba memasuki rongga itu, sekitar 10 meter lebih dengan instan tiba-tiba kami sudah berada di balik benteng dan berada di hutan dengan pokok kayu besar dan banyak. Spontan saya bayangkan, jika dalam keadaan darurat, betapa mudahnya untuk menyelamatkan diri dengan melewati lorong rahasia itu.
Di bagian Selatan benteng dengan ketinggian hingga tiga meter, terdapat sejumlah lubang mengintai serta bekas dudukan meriam (stan) meriam. Dari sejumlah stan meriam, hanya satu terdapat meriam. Meriam yang tersisa bernama bhadili La Faturumbu. Konon La Faturumbu jika membidikkan bedilnya, Pulau Tomia bergetar hingga piring-piring di rumah warga berbunyi gemerincing.
Bedil-bedil serupa banyak ditemukan di beberapa desa dan kelurahan di Tomia. Tapi yang pasti salah satu meriam dari Patua kini sedang berada di Pulau Runduma. Menurut cerita masyarakat setempat, bedil tersebut dipindahkan oleh Danramil Tomia pada tahun 70-an. Kini bedil itu diletakkan di depan Masjid Runduma.
Benteng Patua hanya bisa dikenang dari kebesaran namanya, sejauh ini belum pernah mendapat sentuhan, apalagi pemugaran. Bahkan pos jaga prajurit yang konstruksinya juga dari batu, telah ludes diambil oleh orang yang tak bertanggung jawab dan tidak paham apa arti dari situs bersejarah itu. Entah untuk pelebaran jalan, atau untuk membangun rumah, yang jelas semua bebatuan di pinggir benteng terancam.
Yang perlu dijaga, jangan sampai kumpulan batu yang membentuk benteng itu pun ikut diratakan untuk dijual. Maka dari itu, perlu uluran tangan pemerintah dan instansi terkait. Karena bagaimana pun juga, benteng patua merupakan situs bersejarah dan memiliki nilai sejarah dan daya tarik yang kuat. Bahkan berkali-kali benteng yang ditumbuhi semak-semak itu dikunjungi toris mancanegara, bahkan pelajar sejumlah pelajar untuk untuk tugas ekstrakurikuler dan mempelajari peninggalan peradaban masalalu masyarakat Tomia.

| 0 komentar ]


Tari Merere merupakan tari tradisional yang berasal dari Kulisusu. Sedangkan kata merere dalam bahasa Kulisusu disebut, membuat dinding pembatas yang berarti seseorang yang belum balig harus melaksanakan prosesi merere.
Merere adalah pelaksanaan prosesi adat untuk mengislamkan agar diberi pengetahuan ilmu keagamaan dengan diajarkan mengucapkan dua kalimat sahadat sebagai pertanda telah sah menjadi penganut agama Islam sejati.
Konon, sebelum acara merere digelar terlebih dahulu dilaksanakan upacara kegembiraan pada siang dan malam hari, yakni pertunjukan seni budaya balumpa, ngibi, dan pencak silat. Usai kegiatan tersebut, dilanjutkan dengan berziarah ke Mata Morawu sebagai simbol asal mula nama Kulisusu yang letaknya terdapat di dalam Benteng Keraton. Ritual ini menandakan bahwa seseorang telah tiba di Kulisusu.
Setelah seluruh ritual adat dilaksanakan, maka dimulailah upacara merere yang dilaksanakan pada malam hari. Itupun masih melalui beberapa tahapan, seperti mebulili (memutar), mehungki (pertanda acara memere telah selesai), moato (diarak keliling kota yang diiringi dengan bunyi-bunyian alat musik tradisional), me uhu (pemberian doa selamat kepada orang yang telah melaksanakan merere).
Sedangkan puncak dari pagelaran Tari Merere, saat dua penari putra, mengusung dan mengarak-arak seorang gadis. Gadis ini menutupi wajahnya dengan sehelai selendang berwarna biru sehingga raut wajahnya tidak terlihat jelas membuat penonton penasaran. Sepanjang mengitari panggung, gadis itu dipayungi dengan kain sutera berwarna kuning keemasan. Selanjutnya diikuti enam penari cantik, Sambil diiringi dengan musik tradisional, enam wanita cantik ini terus menerus menampilkan setiap gerakan Tari Merere. Proses selanjutnya, gadis itu diturunkan dan secara perlahan-lahan selendang yang menutupi wajahnya dibuka.

| 0 komentar ]



Tari Lulo Alu yang merupakan tarian khas masyarakat Kabaena. Tarian ini dibawakan 12 penari yang dibagi atas dua peranan. Delapan penari putra memegang alu (Penumbu Padi) yang menggambarkan pria yang menumbuh padi dan empat orang penari perempuan memagang nyiru sebagai alat penapis beras, ditambah sapu tangan yang menggambarkan proses penapisan.
Tari tersebut memiliki kaitan erat dengan Kesultanan Buton. Katanya, pada zaman dahulu Kabaena merupakan bagian dari Kesultanan Buton dan penghasil beras sebagai pilar penguat Kesultanan Buton yang jaya pada masanya. Oleh karena daerah tersebut merupakan penghasil beras yang sangat signifikan maka putra Kabaena berinisiatif menciptakan tari tersebut sebagai tarian yang melambangkan kesukuran kepada tuhan yang maha esa atas melimpahnya rezki dari hasil panen.
Dilihat dari gerakan yang dilakukan penari, tari lulo alu sesungguhnya simbolisasi kepemimpinan. Pasalnya, gerakan yang digunakan sangat energik yang berarti untuk mencapai hasil yang maksimal diperlukan energi yang tinggi. Pakaian yang digunakan dalam tari tersebut merupakan ciri khas Kabaena yang memiliki kaitan erat dengan pakaian adat Buton. Misalnya dasar pakaian yang berwarna hitam ditambah warna kekuning-kuningan dan kemerah-kemerahan.
Kabaena memang memiliki kaitan erat dengan Pulau Buton. Bahkan daerah ini memang sulit terpisahkan dengan Buton.

| 0 komentar ]



Merupakan batu yang menjadi pertanda hilangnya penyiar agama islam di Buton yang bernama Syech Abdul Wahid di pesisir pantai Buton. Disebut Batu Poaro karena oleh masyarakat Buton menyebutkan bahwa Syech Abdul Wahid "Apoaromo te Opuna" yang artinya ia telah berhadapan dengan tuhannya dan batu ini dianggap sebagai makam beliau. Obyek Wisata ini terletak di Kelurahan Wameo Kecamatan Murhum 2 Km dari Pusat Kota Bau-Bau.