SELAMAT DATANG DI GREAT BUTON WEBLOG

Weblog ini akan memperkenalkan kepada anda tentang keeksotikan daerah-daerah di Buton dari sisi kebudayaan, tradisi, kesenian, dan alam. Buton yang dimaksud ialah Buton secara umum yang meliputi Kota Baubau, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Buton, dan Kabupaten Buton Utara di Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia.
| 0 komentar ]



Sebelum memasuki benteng, terdapat gapura sederhana bertuliskan welcome to Patua, yang belakangan baru dibuat masyarakat setempat. Untuk menjangkau benteng, bisa menggunakan ojek dan angkot. Benteng pertahanan Patua menggambarkan adanya prajurit (militer) terorganisir ketika itu, prajurit salah satu negara di Jazirah Sulawesi Tenggara dengan pusat pimpinan di Wolio. Tomia masuk dalam wilayah Bharata Kaledupa (Kahedupa) daerah otonom di Bawah Pemerintahan Kesultanan Buton.
Hefafoa atau lazimnya disebut henangkara, kini tinggal sebuah bekas perkampungan tak berpenghuni karena sudah berabad-abad lamanya ditinggalkan. Pemimpin ketika itu La Ode Abu, memilih membangun benteng di bukit terjal di sebelah Timur Desa Kollo Patua. Benteng yang kira-kira seluas satu setengah lapangan sepak bola itu, berada di ketinggian kira-kira 100 meter di atas permukaan laut.
Sekedar untuk diketahui, La Ode Abu merupakan bontona Waha, putra kandung La Burukeni Taeni yang merupakan keturunan langsung dari La Ode Guntu asal Wolio dari golongan bangsawan Tanailandu. “Tahun 1830, distrik pertama dipimpin putra kandung La Ode Abu yang dikenal dengan nama La Mboge. La Mboge mempunyai lima orang anak dari hasil perkawinannya dengan Wa Ana, yakni La Hatibi, Tambusae, Lamasinae, La Taudu, dan Wa Tairu. Selanjutnya Kepala Distrik secara terus-menerus dijabat oleh keturunannya. Mulai dari La Masinae (H Ismail), dan H Muh Isa (anak La Hatibi).
Beralih ke Benteng Patua. Jika berada di atas benteng, dengan mudah kita dapat melihat bentangan laut banda, indahnya karang atol yang tampak putih muncul mungil dari kedalaman laut, teguhnya Pulau Runduma, Kaledupa, Wangi-Wangi, dan tampak samar Pulau Buton. Rupanya tempat itu cukup strategis untuk pencitraan jauh, melihat setiap lalu-lintas bajak laut dan kapal-kapal musuh yang dapat diantipasi jika sewaktu-waktu mengancam eksistensinya ketika itu.
Pulau Tomia yang terletak di Laut Banda, merupakan jalur menuju Barat dan Timur Nusantara menjadi salah satu tempat yang disinggahi oleh pelaut dan pedagang dari daerah lain ketika itu. Karena memiliki sebuah pemerintahan, maka didirikanlah benteng yang dijaikan sebagai fasilitas untuk mempertahankan eksistensi, sekaligus bisa dikatakan sebagai satu-satunya bangunan megah di sana beberapa abad yang lalu.
Konstruksi Benteng Patua terdiri dari batu gunung yang disusun menyerupai dinding, ketebalan satu hingga 1,5 meter dengan ketinggian berfariasi dari 0,5 hingga 3 meter. Pintu masuk benteng menghadap Timur dengan bentuk zigzag. Jika anda datang tanpa dipandu, salah-salah anda masuk hutan dan tak dapat masuk ke bagian dalam benteng.
Bisa dikatakan kekuasaan ketika itu sudah tersentuh oleh Islam. Karena di salah satu bagian benteng, terdapat bekas masjid. Entah bagaimana arsitekturnya, namun bisa dibayangkan mesjidnya tidak terlalu megah, namun sisa lantai yang rata dari kapur masih ada. Menurut tokoh budaya, La Maode, yang secara sengaja saya berkunjung ke rumahnya tahun lalu, saya masih ingat ia mengatakan masjid di dalam benteng ketika itu konstruksinya sagat sederhana. Yakni beratapkan daun nipa serta berdinding jalaja.
Di dalam benteng juga terdapat kuburan keramat orang nomor satu ketika itu. Di bagian tengah, terdapat takhta raja yang terdiri dari lempengan batu yang licin dan terlihat sangat istimewa. Ya bisa dipastikan jika batu itu adalah altar raja yang membelakangi tebing dan gorong-gorong yang tampak aman untuk dijadikan tempat berlindung. Sejurus dengan takhta itu, terdapat jalan pintas berbentuk rongga tembus ke hutan belantara menuju arah selatan benteng.
Sebuah rongga yang menembus dasar benteng. Sepanjang rongga itu, terdapat batu halus berwarna cerah tersusun rapi menyerupai pengerasan jalan dari kerikil, namun lebih artistik tak bercampur tanah sedikit pun. Ketika wartawan koran ini mencoba memasuki rongga itu, sekitar 10 meter lebih dengan instan tiba-tiba kami sudah berada di balik benteng dan berada di hutan dengan pokok kayu besar dan banyak. Spontan saya bayangkan, jika dalam keadaan darurat, betapa mudahnya untuk menyelamatkan diri dengan melewati lorong rahasia itu.
Di bagian Selatan benteng dengan ketinggian hingga tiga meter, terdapat sejumlah lubang mengintai serta bekas dudukan meriam (stan) meriam. Dari sejumlah stan meriam, hanya satu terdapat meriam. Meriam yang tersisa bernama bhadili La Faturumbu. Konon La Faturumbu jika membidikkan bedilnya, Pulau Tomia bergetar hingga piring-piring di rumah warga berbunyi gemerincing.
Bedil-bedil serupa banyak ditemukan di beberapa desa dan kelurahan di Tomia. Tapi yang pasti salah satu meriam dari Patua kini sedang berada di Pulau Runduma. Menurut cerita masyarakat setempat, bedil tersebut dipindahkan oleh Danramil Tomia pada tahun 70-an. Kini bedil itu diletakkan di depan Masjid Runduma.
Benteng Patua hanya bisa dikenang dari kebesaran namanya, sejauh ini belum pernah mendapat sentuhan, apalagi pemugaran. Bahkan pos jaga prajurit yang konstruksinya juga dari batu, telah ludes diambil oleh orang yang tak bertanggung jawab dan tidak paham apa arti dari situs bersejarah itu. Entah untuk pelebaran jalan, atau untuk membangun rumah, yang jelas semua bebatuan di pinggir benteng terancam.
Yang perlu dijaga, jangan sampai kumpulan batu yang membentuk benteng itu pun ikut diratakan untuk dijual. Maka dari itu, perlu uluran tangan pemerintah dan instansi terkait. Karena bagaimana pun juga, benteng patua merupakan situs bersejarah dan memiliki nilai sejarah dan daya tarik yang kuat. Bahkan berkali-kali benteng yang ditumbuhi semak-semak itu dikunjungi toris mancanegara, bahkan pelajar sejumlah pelajar untuk untuk tugas ekstrakurikuler dan mempelajari peninggalan peradaban masalalu masyarakat Tomia.

0 komentar

Posting Komentar